Diusia senjanya, Kakek Mahrodi (78) rela jualan sapu lidi keliling sejauh 5 KM demi bisa bertahan hidup dan memberikan nafkah halal untuk sang istri.
Tubuh rentanya tak membuat lansia ini menyerah untuk terus melangkahkan kaki menawarkan sapu lidi buatan istri tercinta.
Diketahui, sapu lidi yang dijual kakek Mahrodi hanya 7 ribu rupiah saja. Meskipun murah, namun pembeli sapu kakek jarang, dalam sehari paling hanya 3 sapu yang terjual.
"Sehari kakek bawa uang 20 ribu mas, Alhamdulillah segitu juga sangat cukup untuk kami makan. Kalo kakek lagi sakit, kakek suka maksain jualan biar kakek dan istri bisa makan," ungkapnya kepada tim Rumah Yatim cabang Yogyakarta.
Bersama sang istri, kakek Mahrodi tinggal disebuah gubuk berukuran 1x2 meter. Gubuk itu hanya terbuat dari triplek bekas beratapkan seng berkarat yang sudah berlubang dimana-mana. Di gubuk tersebut tidak ada kamar mandi, dan hanya memiliki satu lampu saja untuk menerangi mereka di malam hari.
Jika hujan, kakek dan istrinya akan kebasahan karena atap rumah yang sudah rusak, mereka pun harus berjalan hati-hati karena lantai rumah yang beralaskan tanah sangat licin jika terkena bocor hujan.
Mengetahui kondisi tersebut, Rumah Yatim cabang Yogyakarta bergerak cepat membantu kakek Mahrodi dengan melakukan aksi penggalangan dana secara daring di platform donasionline.id.
Dari hasil penggalangan dana tersebut, Alhamdulillah lembaga amil zakat ini bisa menyalurkan bantuan biaya hidup berupa uang tunai, bahan pokok dan peralatan mandi mencuci untuk kakek Mahrodi. Bantuan tersebut langsung diberikan di kantor Desa Besani, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
"Alhamdulillah kakek Mahrodi sangat senang dan terharu ketika menerima bantuan ini. Mudah-mudahan bantuan ini bisa memberikan banyak manfaat, berkah dan kebaikan untuk kakek dan istrinya. Terima kasih kepada semua donatur yang telah membantu kakek Mahrodi melalui Rumah Yatim, semoga kebaikan para donatur dibalas oleh Allah dengan sebaik-baiknya balasan," tutur Jajang Khoeruman, kepala cabang Rumah Yatim Yogyakarta.
Author
Sinta Guslia